Bandung Photography Triennale 2025 Kembali Digelar, Catat Tanggalnya!

BANDUNG--Event Bandung Photography Triennale 2025, siap kembali digelar pada September hingga Oktober mendatang. Gelaran tiga tahunan ini akan menghadirkan seniman fotografi dari berbagai negara dengan tema utama “Synthetic Vision: The Age of Fictionalization in Our Culture”.
Sebagai salah satu acara seni visual paling dinanti di Indonesia, pameran Bandung Photography Triennale 2025 ini, digelar pada 18 September - 19 Oktober 2025 di Grey Art Gallery Jl Braga No.47 - Bandung. Kegiatan ini, tidak hanya menampilkan karya fotografi, tetapi juga membuka ruang diskusi.
Menurut GM Grey Art Gallery, Angga A Atmadilaga, dalam lanskap kontemporer yang semakin dimediasi oleh teknologi, citra tidak lagi sekadar representasi realitas, tetapi juga konstruksi kompleks yang mengaburkan batas antara yang nyata dan rekayasa.
"Kita perlu menelaah lebih dalam kondisi pasca-fotografis, ketika gambar tidak lagi bergantung pada indeksialitas yang diproduksi oleh kamera, tetapi muncul sebagai hasil sintesis, simulasi, dan manipulasi yang melibatkan kecerdasan buatan, data, dan algoritma," ujar Angga, belum lama ini.
Menurut Angga, semua bisa menyaksikan bagaimana estetika dan epistemologi visual berubah secara radikal, menantang pemahaman kita tentang otoritas gambar dalam membentuk kebenaran.
Pergeseran ini, kata dia, tidak hanya bersifat teknologis, tetapi juga tendensinya pada praktik biopolitik dan nekropolitik.
Dalam rezim biopolitik, tubuh manusia dan kehidupan dikendalikan melalui mekanisme pengawasan dan regulasi berbasis data, sementara dalam praktik nekropolitik, keputusan atas siapa yang hidup dan siapa yang mati semakin dimediasi oleh infrastruktur visual yang bersifat algoritmik.
Dalam hal ini, kata Angga, semua perlu menyadari dan menelisik bagaimana sistem penglihatan berbasis mesin digunakan untuk mengontrol pergerakan manusia, membentuk wacana keamanan global. Serta, memperkuat dan mendekonstruksi dominasi politik tertentu dalam peta geopolitik yang terus bergeser.
Di lain sisi, kata dia, sejarah telah mencatat bahwa imaji kerap digunakan sebagai senjata kultural dalam membentuk narasi dominan atau menantang struktur kekuasaan. :Dalam medan digital, imaji tidak hanya merepresentasikan realitas tetapi juga menjadi alat produksi fiksi dan friksi," katanya.
Berbagai kepentingan kelompok maupun individu berupaya mengonstruksi dan mendekonstruksi makna melalui manipulasi visual, baik dalam bentuk propaganda, deepfake, maupun strategi disinformasi.
"Dalam dinamika ini, batas antara fakta dan fabrikasi rekayasa menjadi semakin kabur, menciptakan medan peperangan baru dalam perebutan persepsi publik," katanya.
Para seniman dalam pameran ini, kata dia, merespons kondisi tersebut melalui eksplorasi berbagai medium berbasis imaji fotografis. Termasuk fotografi yang dihasilkan AI, video generatif, pemetaan digital, instalasi berbasis data, hingga pendekatan medium fotografi klasik.
"Karya-karya mereka tidak hanya menyoal estetika visual, tetapi juga mengajukan pertanyaan kritis. Bagaimana relasi kita dengan realitas di era gambar sintetis? Bagaimana tubuh, identitas, dan narasi politik dinegosiasikan dalam medan visual yang semakin dimonopoli oleh sistem otomatis?" paparnya.
Urgensi Bandung Photography Triennale kali ini diadakan, kata dia, karena menempatkan diri sebagai respons kritis terhadap penggunaan imaji/citra dalam berbagai kepentingan hari ini. Dalam era ketika informasi visual dengan mudah dimanipulasi untuk membentuk opini publik, mempengaruhi kebijakan.
Bahkan, menjustifikasi kekerasan, Synthetic Vision menawarkan platform bagi seniman untuk mendekonstruksi strategi tersebut dan mengungkap mekanisme tersembunyi di balik produksi imaji/citra.
Melalui eksplorasi artistik, kata dia, pameran ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran akan bagaimana citra beroperasi sebagai instrumen kekuasaan dan bagaimana kita dapat menavigasi serta men-subversi-nya secara lebih kritis.
Melalui berbagai pendekatan, para seniman dalam Bandung Photography Triennale dengan tema Synthetic Vision ini tidak hanya mengungkap bagaimana teknologi membentuk cara melihat dunia. Tetapi juga, bagaimana bisa merebut kembali agensi dalam produksi citra.