Simposium Awam Autoimun dan Gangguan Kesehatan Mental

‘Autoimun dan Gangguan Kesehatan Mental’ diangkat dalam Simposium Awam yang diselenggarakan Syamsi Dhuha Foundation (SDF) bersama Reumatologi Klinik Bandung dan Perhimpunan Reumatologi Indonesia, di Kota Bandung, Ahad (23/2/2025).
Simposium ini diikuti sekitar 100 penyandang autoimun dan pendampingnya ini menghadirkan narasumber Laniyati Hamijoyo (Dokter Pemerhati Autoimun Rematik), Dian Syarief (Survivor Autoimun dan Founder SDF) serta Binta S Febriana (Survivor Autoimun dan Dokter Pemerhati Autoimun Psikiatri).
Dalam paparannya, Laniyati jelaskan Neuropsikiatri Lupus (NPSLE) adalah salah satu dari manifestasi Lupus karena gangguan di pembuluh darah yang mempengaruhi otak, sumsum tulang belakang serta syaraf lainnya. Gejalanya antara lain dapat berupa stroke, kejang, sakit kepala, bingung, demensia, depresi, cemas, halusinasi.
"Jika seseorang dicurigai mengidap NPSLE, dokter akan lakukan pemeriksaan menyeluruh dengan CT scan kepala, MRI, EMG, EEG dan pemeriksaan laboratorium. Menghadapi NPSLE dengan cara mengenali lupus lebih dalam seperti mengikuti terapi pengobatan serta kontrol rutin ke dokter, menghindari faktor pencetus seperti rokok, sinar matahari, stress, kelelahan dan infeksi. Terapkan perilaku serta gaya hidup yang sehat untuk mencegah kekambuhan lupus dengan menjaga kebersihan, cukup istirahat, diet seimbang, vaksinasi dan olahraga teratur," kata Laniyati.
Adapun Dian Syarief bagikan pengalamannya bagaimana jalankan hidup dengan Autoimun. Autoimun bukanlah akhir dari segalanya. Penyakit autoimun disebabkan terganggunya sistem imun yang berada di dalam tubuh yang tak bisa dihilangkan. Jika penyikapan dalam menghadapinya dengan bermusuhan maka akan menguras banyak energi, yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk hal yang lebih positif dengan tetap bisa lakukan berbagi kegiatan positif seperti belajar dan bekerja.
"Bersahabat dengan autoimun adalah strategi dan pendekatan terbaik. Tak cukup hanya dengan berdamai. Perlu bangun kekuatan jiwa untuk bersahabat dengan Autoimun, hal ini melalui 5 fase yang pada umumnya dialami ketika seseorang terdiagnosa autoimun, dimulai dari denial (penolakan), anger (marah), bargaining (tawar menawar), depression (depresi), hingga acceptance (penerimaan). Bersahabat dengan autoimun dapat dicapai antara lain dengan lakukan komunikasi yang efektif dengan dokter, kenali dan pahami penyakit serta
terapinya, karena kita yang seharusnya paling peduli dengan diri kita sendiri dengan menerapkan pola hidup sehat, selektif dalam memilih alternatif terapi, kelola stress, miliki sudut pandang yang tepat, kita yang harus mengendalikan autoimun, bukan autoimun yang mengendalikan kita," kata Dian.
Sementara Binta Febriana jelaskan kondisi mental seseorang dipengaruhi berbagai faktor, meliputi faktor biologi (fisik), psikologi, sosial, dan religiusitas. Individu dengan penyakit autoimun memiliki resiko lebih tinggi terkena gangguan mental, hal ini terjadi karena secara biologi/fisik tubuh penyandang autoimun memang terdapat gangguan. Kondisi mental autoimun dipengaruhi oleh proses inflamasi kronis, yang mempengaruhi neurotransmitter, efek langsung penyakit autoimun, efek pengobatan kortikosteroid serta adanya perubahan kondisi dan gaya hidup. Gangguan mental yang terjadi bergantung kepada lokasi terjadinya gangguan di otak, merujuk ke aliran darah mana yang terganggu fungsinya, sehinggamenimbulkan gejala yang berbeda-beda.
"Kondisi mental akan mempengaruhi pikiran, perasaan, perilaku, dan fisik. Apabila kondisi mental baik, maka pikiran, perasaan, perilaku, dan fisik akan semakin baik. Cara menguatkan kondisi mental dapat dilakukan dengan Kenali kapasitas mental diri sendiri, apakah sudah mulai jenuh atau tidak. Jika sudah jenuh, maka dapat diatasi dengan cara yang berbeda, dapat dituangkan ke hobi, curhat, datang ke forum ilmu, nangis, ataupun jalan-jalan. Setiap individu harus tahu cara terbaik untuk diri masing-masing, selektif dalam memilih jenis stres yang memang perlu dicemaskan, besarkan dan kuatkan kapasitas mental. Salah satunya dengan belajar pengelolaan emosi," katanya.
Selain para narasumber, Santi Yulistiawaty penyandang 5 jenis autoimun, juga mengisahkan bagaimana dirinya melalui masa sulit sejak pertama kali terdiagnosa autoimun pada tahun 2017, yang awalnya menyangkal, marah, sensitif, alami ketidakstabilan emosi, cemas, merasa tidak berguna, kondisi fisik terus menurun, hingga akhirnya dapat menerima, mencapai remisi, dan kondisi fisik membaik meskipun hingga saat ini masih harus gunakan kursi roda. Upaya yang dilakukannya untuk capai remisi depresi dengan meningkatkan ibadah dan rasa syukur mengabaikan stigma lingkungan dan fokus pada kesembuhan, kontrol rutin psikiater dan minum obat tepat waktu, mengatur pola hidup, mencari support system terutama keluarga, serta tidak memendam apa yang dirasakan.
Bagi para pendamping, Santi berpesan untuk berikan dorongan, harapan, dan rasa aman serta berikan pelukan untuk meredakan rasa takut pada stigma atau penghakiman. Sedangkan bagi sesama penyandang autoimun, pesannya, “Jangan jadikan diagnosa depresi atau gangguan mental lainnya sebagai pembenaran atas perilaku kita terhadap orang sekitar," ujar Santi.***(Edi Yusuf)