Penyitas HIV/AIDS di Bandung Capai 5.843, Warga Diminta Tak Perlu Takut Lakukan Tes
Kasus HIV/AIDS di Kota Bandung hingga saat ini masih tinggi. Secara akumulatif sepanjang 1991 hingga 2021, tercatat 5.843 warga Kota Bandung sudah terjaring dan menjadi penyintas HIV/AIDS.
Namun, menurut Kepala Sekretariat Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Bandung, Sis Sri Silvia Dewi, proses penjaringan tetap dilakukan agar penyintas yang belum terjaring dapat segera terjaring dan mendapat penanganan (diobati).
Sis juga mengingatkan kepada masyarakat Kota Bandung, agar tak perlu takut untuk mengikuti tes.
“ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) punya harapan hidup yang sama seperti kita,” ujar Sis.
Pemkot Bandung sendiri, terus melakukan upaya pencegahan penularan HIV/AIDS di Kota Bandung. Kasus yang terlihat seperti fenomena gunung es ini coba dipecahkan lewat hadirnya komunitas dan aktivasi peduli HIV/AIDS sampai di level kewilayahan.
Sis mengatakan, upaya penanggulangan HIV/AIDS di Kota Bandung hadir lewat peran seluruh pihak di Kota Bandung.
Ia mencontohkan, di level kewilayahan ada organisasi Warga Peduli AIDS. Aktivasinya beragam, dan meliputi kegiatan sosialisasi untuk masyarakat agar bisa mencegah penularan HIV/AIDS.
“Proses penjangkauan dan juga sosialisasi dilakukan dengan melibatkan unsur kewilayahan,” kata Sis.
Berbagai aktivitas saling terintegrasi pun dilakukan di dalamnya. Mulai dari penjaringan dengan melibatkan unsur masyarakat, sosialisasi ke semua kalangan usia, juga tindak lanjut yang melibatkan SKPD di Kota Bandung.
Sis menyebut hadirnya aktivasi pencegahan dan penanggulangan penularan HIV/AIDS juga dibarengi proses penjaringan para penyintasnya.
Menurut Sis, proses penjaringan dilakukan agar penyintas HIV/AIDS dapat diberi tindakan lebih lanjut, seperti pengobatan.
Proses pengobatan ini nantinya bisa mencairkan fenomena gunung es kasus HIV/AIDS di Kota Bandung.
“Perlu diketahui, jika di satu wilayah terdapat angka kasus HIV/AIDS yang tinggi, maka (fenomena) gunung esnya bisa dicairkan (karena sudah terjaring untuk kemudian dilakukan proses pengobatan),” katanya.
Sis menilai pekerjaan rumah berikutnya ialah mendobrak stigma tentang penyintas HIV/AIDS. Sudah jadi rahasia umum, penyintas HIV/AIDS mendapat stigma tak punya lagi harapan hidup.
Padahal, kata Sis, dukungan terhadap penyintas menjadi sangat penting dalam proses pengobatannya.
Proses pengobatan ini juga, kata Sri, menjadi salah satu hal penting agar para penyintas dapat melakukan aktivitas normal, dan juga memutus mata rantai penularan penyakit ini.