Anak Wargi Bandung Alami Kekerasan?Segera Laporkan! Ini Caranya
Kekerasan pada anak masih terjadi di Kota Bandung. Kekerasan ini, tak hanya identik dengan penyerangan fisik. Tapi, kekerasan pun bisa muncul dari verbal. Bahkan, kekerasan verbal yang masuk pada ranah kekerasan psikis, menjadi kategori tertinggi dalam kasus kekerasan anak di sekolah.
Menurut Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A), dr Rita Verita Sri Hasniarty, dari tahun 2019-2021, terdata 40 klien kekerasan anak di sekolah yang sudah ditangani.
"Namun, pasti ada kasus yang tidak terlaporkan ke kita," kata Rita
Kalau ada wargi Bandung yang anaknya mengalami kekerasan segera laporkan. Begini caranya:
1. Untuk menekan angka kasus kekerasan anak di sekolah, DP3A bersama 75 sekolah jenjang SMP di Kota Bandung melakukan simulasi bedah kasus.
2. Masih banyak orang yang menganggap biasa kasus kekerasan anak berupa verbal. Sehingga, tindakan tersebut tak segera dilaporkan, bahkan tak ditangani. Bahkan, kategori kasus tertinggi kekerasan anak di sekolah adalah kekerasan psikis.
"Bisa jadi ternyata selama ini dianggap biasa, tapi sebenarnya masuk dalam kekerasan anak. Anak ini kan secara spontan mengeluarkan perkataan yang dapat menyebabkan sakit hati, ini termasuk bullying," katanya
"Sehingga temannya sakit hati dan akhirnya tidak mau ke sekolah, takut ketemu temannya itu," imbuhnya.
3. DP3A bersama 75 sekolah ini berkomitmen untuk melawan kasus kekerasan anak di sekolah.
4. Para guru bimbingan konseling (BK) dan kepala sekolah terus waspada serta cermat mengamati pergaulan anak-anak.
5. Bila terjadi seperti ini harusnya segera melaporkan kepada yang bisa dipercaya untuk menyelesaikan kasus, contohnya ke guru BK agar bisa ditindaklanjuti. Kalau tak bisa diselesaikan, maka dirujuk ke UPTD PPA (Perlindungan Perempuan dan Anak) untuk ditindaklanjuti.
6. Selain itu, kasus kekerasan anak secara keseluruhan di Kota Bandung didominasi oleh kekerasan seksual. Lalu, kekerasan psikis, dan ketiga, kekerasan fisik.
7. Dari data DP3A Kota Bandung, jumlah kasus kekerasan anak tahun 2019 terdata 192 klien. Lalu, tahun 2020 terdata 138 klien. Kemudian, pada 2021 terdata 157 klien.
"Sepanjang Januari-Mei 2022 ada 88 klien. Semasa pandemi itu memang melonjak karena ada tekanan ekonomi juga. Banyak yang di-PHK, merasa kecewa, akhirnya melampiaskan amarah ke anak," kata Rita.
8. Meski berat mengantisipasi agar kasus serupa tak terjadi lagi, perlu adanya partisipasi dari semua pihak. Sebab, jika hanya DP3A yang menjalankan tugas mengawasi sampai mendampingi, kasus kekerasan pada anak tak akan bisa selesai begitu saja.
"Semua harus berperan. Tidak hanya dibebankan pada DP3A saja. Harus ada keterlibatan dari sekolah, orang tua, Dinas Pendidikan, dan lembaga terkait lainnya. Harus sama-sama berperan agar tidak meningkat lagi kasus kekerasan pada anak," katanya.
9. Beberapa langkah yang telah DP3A lakukan untuk menekan angka kekerasan anak, berupa sosialisasi, bedah kasus, pendampingan, dan mediasi.